Apakah Yesus itu Allah?
YESUS KOMPLEKS:
Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang memiliki magnet personal
begitu besar sehingga dia selalu jadi pusat perhatian? Mungkin karena
kepribadiannya atau kepintarannya. Tapi ada sesuatu dari dia yang
mempesona.
Itulah yang terjadi dua ribu tahun lalu terhadap Yesus Kristus.
Keagungan Yesus sangat jelas bagi mereka yang melihat dan mendengar-Nya.
Tapi, ketika hampir seluruh orang besar pelan-pelan hilang dalam
buku-buku sejarah, Yesus dari Nazareth tetap jadi fokus kontroversi di
banyak buku dan media.
Dan sebagian besar kontroversi berada disekitar klaim radikal Yesus mengenai diri-Nya sendiri.
Sebagai tukang kayu dari sebuah desa di Galilea, Israel, Yesus mengklai
m
diri-Nya, jika benar, memberikan implikasi besar terhadap hidup kita.Sebagai tukang kayu dari sebuah desa di Galilea, Israel, Yesus mengklai
Menurut Yesus, Anda dan saya istimewa, bagian dari rencana besar
kosmis. Dan Dia adalah pusat dari semuanya. Klaim ini juga klaim yang
lain mengejutkan mereka yang mendengarnya.
Klaim tersebut membuat banyak orang marah saat itu, Yesus-lah yang
menyebabkan Dia dipandang sebagai pengacau oleh penguasa Romawi dan
Yahudi.
Kendati Dia adalah orang luar yang tidak mempunyai kredensial atau
basis politik, dalam waktu tiga tahun, Yesus mengubah dunia selama dua
puluh abad terakhir ini. Pemimpin moral dan agama lain meninggalkan
dampak, tapi tidak seperti tukang kayu yang tidak dikenal dari Nazareth
itu.
Apakah yang membuat Yesus Kristus berbeda? Apakah Dia orang besar atau ada sesuatu yang lebih?
Pertanyaan-pertanyaan ini masuk ke inti siapa Yesus sebenarnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini masuk ke inti siapa Yesus sebenarnya?
Ada yang percaya Dia hanyalah guru moral yang besar. Yang lain percaya Dia hanyalah pemimpin dari agama terbesar dunia.
Namun banyak yang percaya lebih jauh lagi. Orang Kristen percaya
Allah telah melawat kita dalam bentuk manusia. Dan mereka percaya ada
bukti-bukti yang mendukungnya.
Jadi, siapakah sebenarnya Yesus?
Mari kita lihat lebih dekat.
Ketika kita melihat lebih dalam dari pribadi yang paling
kontroversial di dunia, kita mulai bertanya apa mungkin Yesus hanyalah
seorang guru moral yang besar?
Guru Moral Yang Besar?
Hampir semua ahli mengakui Yesus adalah guru moral yang besar. Pada
kenyataannya, kedalaman-Nya dalam moralitas kemanusiaan adalah sebuah
pencapaian yang juga diakui oleh agama-agama lain. Dalam bukunya, Jesus of Nazareth,
pakar Yahudi, Joseph Klausner menulis, “Secara universal diakui ….
Kristus mengajarkan etika yang paling murni dan sempurna… yang melempar
semua persepsi dan pepatah dari manusia paling bijak di zaman kuno jauh
kedalam bayangan.”
Khotbah Yesus diatas bukit telah disebut sebagai pengajaran etika
manusia paling unggul etika manusia yang pernah diutarakan oleh seorang
individu. Pada kenyataannya yang sekarang kita kenali sebagai “persamaan
hak” adalah hasil dari pengajaran Yesus. Sejarahwan Will Durant
menyatakan jika Yesus hidup dan memperjuangkan persamaan hak di era
modern Dia akan langsung dikirim ke Siberia. “Dia yang terbesar diantara
kamu, adalah dia yang melayani kami” – ini telah membalikkan semua
kebijaksanaan politik yang sudah wajar.
Sebagian orang mencoba memisahkan pengajaran etika Yesus dari
klam-Nya tentang diri-Nya, dan percaya Dia hanyalah manusia biasa yang
besar dan mengajarkan prinsip – prinsip moral luhur (mulia). Inilah
pendekatan yang diambil dari salah satu bapa pendiri Amerika.
Presiden Thomas Jefferson, seorang rasionalis duduk di Gedung Putih dengan dua copy identik Perjanjian Baru, sebuah silet dan kertas. Sepanjang beberapa malam, dia menggunting dan menempelkan kitab sucinya yang tipis dan disebutnya “Filsafat Yesus dari Nazareth”. Setelah memotong semua ayat/kalimat yang menyebutkan (menyiratkan) ke-Tuhan-an Yesus, Jefferson mempunyai Yesus yang tidak lebih dan tidak kurang daripada sebuah panduan etika yang baik.
Ironisnya, kata-kata Jefferson yang dikenang di Deklarasi Kemerdekaan
berakar pada pengajaran Yesus bahwa setiap orang sangat berharga dan
penting bagi Allah, terlepas dari jenis kelamin, ras, atau status
sosial. Dokumen terkenal itu menambahkan, “Kami pegang teguh kebenaran
yang telah membuktikan dirinya sendiri, bahwa semua manusia diciptakan
setara, dan bahwa mereka diperlengkapi oleh Penciptanya dengan hak-hak
asasi.”
Tapi Jefferson tidak pernah bertanya, bagaimana Yesus bisa jadi
pemimpin moralitas besar jika Dia berbohong tentang Dia adalah Allah?
Jadi mungkin Dia tidak benar-benar bermoral, tapi motifnya adalah
memulai sebuah agama besar. Mari kita lihat jika itulah penjelasan
tentang kebesaran Yesus.
Pemimpin Besar Agama?
Apakah Yesus pantas disebut sebagai “pemimpin besar agama”?
Kejutannya, Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pemimpin
agama. Dia tidak pernah masuk dalam perpolitikan agama atau didorong
oleh agenda ambisius dan Dia melayani (berkotbah) diluar kerangka
kelembagaan agama.
Ketika membandingkan Yesus dengan pemimpin besar agama lain,
perbedaan besar muncul. Ravi Zacharias yang besar dalam budaya Hindu,
mempelajari agama-agama dunia dan mengamati perbedaan fundamental antara
pendiri agama lain dengan Yesus Kristus.
“Apapun yang kita buat terhadap klaim mereka, satu realitas tidak akan terlewatkan. Mereka adalah guru-guru yang menunjuk pengajaran atau memperlihatkan jalan tertentu. Dari semua muncul perintah-perintah dan cara hidup. Bukanlah Zoroaster yang jadi panutan; Zoroaster yang Anda dengarkan. Bukan Buddha yang membebaskan Anda; Kebebarannya yang Agung yang memerintahkan Anda. Bukan Muhammad yang mengubah Anda; keindahan Quran yang menarik Anda. Kontrasnya, Yesus tidak hanya mengajar atau menjelaskan pesan-pesanNya. Dia identik dengan pesan-Nya."
Kebenaran Zacharias diperjelas dengan beberapa kali di Injil pesan
pengajaran Yesus hanyalah. “Datang kepada-Ku” atau “Ikut Aku” atau
“Patuhi Aku”. Juga, Yesus menegaskan bahwa misi utama-Nya adalah untuk
mengampuni dosa, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh Allah.
Tidak ada pemimpin agama besar yang pernah mengklaim berkuasa
mengampuni dosa. Tapi bukan klaim itu saja yang memisahkan Yesus dari
yang lain. Dalam The World’s Great Religions, Huston Smith
mengamati, “Hanya dua orang yang sangat mengejutkan orang pada zamannya
sehingga pertanyaan yang ditujukan kepadanya bukanlah “Siapa dia?” tapi
‘Dia itu apa’? Mereka adalah Yesus dan Buddha. Jawaban keduanya atas
pertanyaan ini bertentangan. Buddha dengan tegas menyatakan dia hanyalah
seorang manusia bukan Allah – seakan-akan dia bisa memperkirakan
belakangan ada upaya untuk memujanya. Yesus, disisi lain, mengklaim….
Dia itu Tuhan.”
Apakah Yesus Mengklaim Dirinya Adalah Allah?
Sudah jelas, sejak awal gereja, Yesus dipanggil Tuhan dan dipandang
oleh orang Kristen sebagai Allah. Namun tetap saja ke-Tuhan-an Yesus
terus jadi perdebatan besar. Jadi pertanyaan — dan memang pertanyaannya —
adalah : Apakah Yesus mengklaim diri-Nya adalah Allah (Pencipta), atau
semacam mahluk mulia yang diciptakan atau diasumsikan oleh para penulis
Perjanjian Baru? (Lihat “Apa Yesus Mengklaim diri-Nya adalah Allah”)
Beberapa ahli percaya Yesus adalah guru yang sangat berkuasa dan
mempunyai kepribadian yang mendorong murid-muruid-Nya berasumsi Dia
adalah Allah Atau mereka hanya ingin untuk berpikir Dia adalah Allah,
John Dominic Crossan dan Seminar Yesus (kelompok pakar yang skeptis,
yang memiliki prasangka menolak mujizat) adalah sebagian orang yang
percaya Yesus didefinisikan salah.
Kendati buku seperti “The Da Vinci Code” berpendapat ke-Tuhan-an
Yesus adalah doktrin gereja saja, bukti-bukti memperlihatkan sebaliknya
(Lihat “Apa ada Konspirasi Da Vinci?”).
Sebagian besar orang Kristen yang menerima Injil menekankan Yesus
memang mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan (Allah). Dan kepercayaan ini
bisa ditelusuri kebelakang sampai pada pengikut Yesus di awalnya.
Tapi ada juga mereka yang menerima Yesus sebagai guru agung, tapi
tidak bersedia menyebut-Nya sebagai Allah. Thomas Jefferson tidak
mempersoalkan untuk menerima pengajaran Yesus atas moral dan etika tapi
menolak ke-Tuhan-anNya.[7]
Tapi seperti kami sudah katakan, dan akan dijelaskan kemudian, jika
Yesus bukanlah seperti yang diklaim-Nya, maka kita harus mencari
alternatif lain, yang tidak satupun akan membuat Dia jadi guru agung
moral.
Bahkan membaca sekilas Injil akan mengungkapkan bahwa Yesus mengklaim
lebih dari nabi seperti Musa atau Daniel. Tapi sifat dasar klaim-klaim
itu jadi perhatian kita. Dua pertanyaan perlu diperhatikan.
Apakah Yesus mengklaim diriNya adalah Allah?
Ketika Dia katakan “Allah”, apakah Yesus benar-benar memaksudkannya
Dia adalah Pencipta alam semesta seperti yang disebut oleh Kitab Suci
Yahudi?
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu mempertimbangkan
kata-kata Yesus di Matius 28:18, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa
di sorga dan di bumi.” Apa yang dimaksudkan dengan Yesus telah
“diberikan” kuasa?
Sebelum menjadi manusia, kita diberitahu bahwa Dia bersama-sama
dengan Bapa, dan sebagai Allah, Dia punya semua kuasa. Namun Filipi
2:6-11 menceritakan kepada kita kendati Yesus telah ada dalam bentuk
Allah, Dia “melepaskan” kekuasaan Allah untuk lahir jadi manusia. Namun
bagian surat itu juga menyatakan kepada kita bahwa setelah kebangkitan,
Yesus dipulihkan lagi dalam kemulian-Nya semula dan satu hari nanti
“setiap lutut akan bertelut kepada-Nya dan menyebut Tuhan.” Jadi, apa
yang dimaksud Yesus ketika Dia mengklaim memiliki seluruh kuasa di surga
dan di bumi? Kekuasaan merupakan istilah yang dikenal baik di Israel,
yang dijajah Romawi kala itu. Pada saat itu, Kaisar adalah kekuasaan
tertinggi diseluruh Romawi. Keputusannya bisa langsung mengirim pasukan
untuk berperang, menghukum penjahat, dan menetapkan hukum dan peraturan
pemerintah.
Pada kenyataannya, kekuasaan Kaisar begitu besar sehingga dia sendiri
mengklaim dirinya sama dengan Tuhan. Jadi, paling kecil kemungkinannya
apabila Yesus mengklaim punya otoritas sama dengan Kaisar.
Tapi Dia tidak hanya mengatakan Dia punya kekuasaan lebih dari para
pemimpin Yahudi atau penguasa Romawi; Yesus mengklaim memiliki otoritas
(kuasa) tertinggi di alam semesta. Bagi mereka yang mendengar-Nya, itu
berarti Dia adalah Allah. Bukan salah satu allah — tapi Allah.
Baik perkataan dan tindakan menegaskan fakta bahwa mereka benar-benar percaya Yesus adalah Allah.
Apakah Yesus Mengklaim Sebagai Pencipta?
Tapi mungkin Yesus hanya merefleksikan otoritas Allah dan tidak
menyatakan bahwa Dia adalah Pencipta. Sekilas dibaca kelihatannya tidak
meyakinkan. Namun klaim Yesus memiliki seluruh kuasa akan masuk akal
jika Dia adalah Pencipta alam semesta. Kata “seluruh” berarti segala
sesuatu termasuk penciptaan itu sendiri.
Ketika kita menggali lebih
dalam kata-kata Yesus sendiri, sebuah pola mulai muncul. Yesus membuat
penegasan tentang diri-Nya, tidak salah lagi merujuk pada
ke-Tuhan-anNya. Inilah sebagian pernyatan yang dicatat oleh para saksi
mata.
- “Akulah kebangkitan dan hidup” (Yohanes 11:25)
- “Akulah terang dunia.” (Yohanes 8:12)
- “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10:30)
- “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.” (Wahyu 22:13).
- “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yohanes 14:6)
- “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
- “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yohanes 14:9)
Sekali lagi, kita harus kembali kepada konteks. Dalam Kitab Suci
Yahudi, ketika Musa bertanya kepada Allah nama-Nya di depan semak yang
berapi, Allah menjawab, “AKU”. Dia mengatakan kepada Musa bahwa Dia
adalah satu-satunya Pencipta, abadi dan ada disemua tempat.
Sejak zaman Musa, tidak ada satupun orang Yahudi yang berani menyebut
dirinya atau orang lain dengan sebutan “AKU”. Karena itu, klaim Yesus
sebagai “AKU” langsung membuat para pemimpin Yahudi sangat marah.
Contohnya, beberapa pemimpin Yahudi menjelaskan kepada Yesus kenapa
mereka mencoba membunuh-Nya, “karena Engkau menghujat Allah dan karena
Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan
Allah.” (Yohanes 10:33).
Tapi pada intinya bukan hanya kalimat-kalimat itu yang membuat para
pemimpin agama marah. Pointnya adalah mereka tahu persis apa yang Dia
katakan – Dia mengklaim diri-Nya sebagai Allah, Pencipta alam semesta.
Hanya dengan klaim ini membawa pada tuduhan penghujatan. Membaca teks
klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah sudah sangat jelas, bukan hanya oleh
kalimat-Nya, tapi juga oleh reaksi mereka yang mendengarnya.
Allah Seperti Apa?
Ide bahwa kita semua bagian dari Allah dan didalam kita ada bibit
ke-Tuhan-an, tidaklah bisa diterapkan bagi kata-kata dan tindakan Yesus.
Pemikiran semacam itu berasal dari kaum revisionis, asing bagi
pengajaran-Nya, asing bagi keyakinan yang dikatakanNya, dan asing bagi
para murid-Nya yang mengerti pengajaran-Nya.
Yesus mengajarkan Dia
adalah Allah seperti yang dipahami orang Yahudi tentang Allah dan sama
dengan Kitab Suci Yahudi gambarkan atas Allah, bukan seperti gerakan
Abad Baru pahami mengenai Allah.
Yesus maupun para pendengarnya tidak pernah tahu tentang Star Wars,
sehingga jika mereka berbicara tentang Allah, mereka tidak membicarakan
kekuatan kosmis. Tapi jika Yesus bukan Allah, apakah kita bisa tetap
menyebut-Nya sebagai guru agung moral? C. S. Lewis berargumen, “Saya
disini mencoba mencegah siapapun menyatakan hal bodoh yang sering
dikatakan orang mengenai diri-Nya: ‘Saya siap menerima Yesus sebagai
guru agung moral, tetapi saya tidak menerima klaimnya sebagai Allah.’
Hal ini tidak boleh dikatakan.”
Dalam pencarian akan kebenaran, Lewis tahu bahwa dia tidak bisa
mengambil dua jalan itu berkaitan dengan identitas Yesus. Benar, klaim
Yesus bahwa Dia adalah Allah dalam daging atau klaim-Nya salah. Dan jika
salah, Yesus bukanlah guru agung moral. Dia bisa dengan sengaja
berbohong atau Dia hanyalah orang gila, yang menganggap diri-Nya Allah.
Tentusaja ada orangorang yang menerima Yesus sebagaigurubesar, namun
bersedia untuk memanggil Dia Allah. Sebagai Deis kita lihat bahwa Thomas
Jefferson tidak punya masalah menerima ajaran Yesus tentang moral dan
etika, sementara ia menyangkal keilahian-Nya.
Tapikita katakan, dan akanmengeksplorasi lebihlanjut, jika Yesus
bukan siapa dia mengaku, makakita harus meneliti beberapa alternatif
lain, tidak ada yangakan membuatnya seorang guru moral yangagung. Lewis,
berpendapat, “Saya berusaha di sini untukmencegah orang darimengatakan
halyang benarbenar bodoh bahwa orang seringberkata tentang Dia: “Saya
siap menerima Yesus sebagai gurumoralyang agung, Burt saya tidak
menerima klaimnya sebagaiAllah. ‘Itu adalah satu hal yang kita tidak
harus mengatakan.”
Apakah Yesus Pembohong?
Salah satu buku politik paling terkenal dan berpengaruh ditulis oleh Noccolo Machiavelli 1532. Dalam buku klasik, The Prince,
Machiavelli menjelaskan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan,
sukses, dan efesiensi adalah melampaui kesetiaan, iman, dan kejujuran.
Menurut Machiavelli, berbohong itu bagus jika untuk mencapai tujuan
politik.
Mungkinkah Yesus Kristus membangun seluruh pelayanan-Nya berdasarkan
kebohongan untuk memperoleh kekuasaan, kemaahuran, atau keberhasilan?
Faktanya, orang Yahudi, musuh Yesus, secara konstan berusaha
memperlihatkan Dia sebagai pembohong dan penipu. Mereka akan menyerang
Dia dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjebakNya dan membuat Dia
berkontradiksi dengan diriNya sendiri. Namun Yesus selalu menjawab
dengan konsistensi yang mengagumkan.
Pertanyaan yang harus kita hadapi adalah, apa mungkin motivasi Yesus
hidup seperti hidupNya adalah kebohongan? Dia mengajar Allah menentang
kebohongan dan kemunafikan, jadi Dia tidak akan melakukan itu untuk
menyenangkan Bapa-Nya. Dia pasti tidak berbohong demi keuntungan para
pengikut-Nya. (seluruh murid kecuali satu orang mati terbunuh jadi
martir.) Akhirnya kita tinggal punya dua kemungkinan penjelasan.
Keuntungan
Banyak orang berbohong untuk memperoleh keuntungan pribadi. Faktanya,
kebanyakan bohong dimotivasi oleh keuntungan pribadi. Apa yang Yesus
harapkan dari berbohong atas identitasNya? Kekuasaan jadi jawaban paling
mudah diperoleh. Jika rakyat percaya Dia adalah Allah, Dia bisa punya
kekuasaan luar biasa besar. (Itulah sebabnya banyak pemimpin zaman dulu,
seperti Kaisar, mengklaim punya asal usul ilahi.)
Jawaban atas penjelasan ini adalah Yesus menolak semua upaya untuk
mendudukkan-Nya sebagai penguas la, lebih suka mengecam mereka yang
menyalah-gunakan kekuasaan dan hidup untuk mengejar kekuasaan. Dia juga
memilih untuk menjangkau orang yang terbuang (pelacur dan penderita
lepra), mereka yang tidak punya kekuasaan, dan menciptakan jaringan dari
orang-orang yang pengaruhnya kurang dari nol. Bisa digambarkan sebagai
aneh, semua yang Yesus lakukan dan katakan bergerak menjauhi kekuasaan.
Kelihatannya, jika kekuasaan jadi motivasi Yesus, Dia akan
menghindari salib dengan segala cara. Namun, dalam beberapa kesempatan,
Dia mengatakan kepada para murid-Nya bahwa salib adalah tujuan dan
misinya. Bagaimana kematian di salib Romawi bisa memberikan kekuasaan
kepada orang itu?
Kematian, tentu saja, membawa segalanya memasuki fokus yang tepat.
Banyak orang martir mati karena perjuangan yang mereka percayai, tapi
hanya sedikit orang mau mati untuk kebohongan yang sudah diketahui.
Tentunya seluruh harapan Yesus untuk memperoleh keuntungan pribadi akan
lenyap di kayu salib. Tapi, sampai pada napas terakhirnya, Dia tidak
pernah mencabut klaim-Nya sebagai Anak Allah. Yesus menggunakan istilah
“Anak Manusia” dan “Anak Allah” untuk mengidentifikasi sifat dasar
sebagai manusia dan Allah
Warisan
Jadi jika Yesus berbohong bukan untuk keuntungan pribadi, mungkin
klaim radikalnya dipalsukan untuk meninggalkan sebuah warisan. Tapi
prospek dipukuli hancur-hancuran dan dipaku di salib dengan cepat akan
menyurutkan siapapun yang paling antusias, untuk jadi bintang super masa
depan.
Ada fakta lain yang sering timbul. Jika Yesus mencabut saja klaim
sebagai Anak Allah, Dia tidak akan disalib (hukum). Karena klaim-Nya
sebagai Allah dan ketidaksediaan untuk mencabutnya, yang membawanya ke
salib.
Jika meneliti reputasi kredibilitas dan historis mengenai apa yang
memotivasi Yesus untuk berbohong, seseorang harus menjelaskan bagaimana
seorang tukang kayu dari desa miskin Yudea bisa mengantisipasi
kejadian-kejadian yang akan mengangkat namanya jadi terkemuka di dunia.
Bagaimana Dia tahu pesan-pesan-Nya akan bertahan (ada terus sampai
sekarang)? Murid-murid Yesus sudah lari dan Petrus menyangkal Dia. Ini
semua bukanlah sebuah formula untuk menanamkan warisan religius.
Apakah para sejarahwan percaya Yesus berbohong? Para ahli telah
menyidik kalimat-kalimat Yesus dan kehidupanNya untuk melihat apakah ada
bukti kejanggalan pada karakter moral-Nya. Pada kenyataannya, bahkan
yang paling skeptispun kaget oleh kemurnian moral dan etika Yesus. Salah
satu skeptis dan antagonis, John Stuart Mill (1806 – 73) menulis
mengenai Yesus,
“Tentang kehidupan dan perkataan Yesus ada tanda orisinilitas personal dikombinasikan dengan kedalaman pengertian manusia jenius yang spesies kita bisa utarakan. Pada saat jenius terbesar (terhebat tak ada yang melebihi) dikombinasi dengan kualitas reformer moral terbesar dan martir untuk misi yang pernah hidup di bumi, agama tidak bisa dikatakan melakukan pilihan salah dalam memilih orang ini sebagai wakil ideal dan panduan bagi kemanusiaan.”
Menurut sejarahwan Philip Schaff, tidak ada bukti dalam sejarah
gereja atau sekuler, yang mencatat Yesus berbohong atas apapun. Schaff
berargumen, bagaimana, atas nama logika, masuk akal, dan pengalaman,
seorang penipu, egois, telah menciptakan dan secara konsisten dari awal
mulai sampai akhir, dikenal sebagai karakter paling mulia dan murni
dalam sejarah dengan aroma kebenaran sempurna dan realitas?
Untuk tetap pada pilihan kebohongan, tampak seperti berenang melawan
arus atas apa yang diajarkan dan dihidupi sampai matioleh Yesus. Bagi
sebagian besar ahli, itu tidak masuk akal. Kendati begitu, untuk menolak
klaim Yesus, seseorang harus mengajukan penjelasan. Dan jika klaim
Yesus tidak benar dan Dia tidak berbohong, satu-satunya pilihan tersisa
adalah Dia membohongi diri-Nya sendiri.
Apa Yesus Gila?
Albert Schweitzer, penerima Nobel Prize 1952 karena upaya-upaya
kemanusiannya, punya pandangan sendiri tentang Yesus. Schweitzer
menyimpulkan bahwa kegilaan ada dibelakang klaim Yesus bahwa Dia adalah
Allah. Dalam kata lain, Yesus salah atas klaim-Nya tapi tidak secara
sengaja berbohong. Menurut teori ini, Yesus disesatkan sedemikian rupa
hingga Dia percaya Dialah Mesias.
C. S. Lewis mempertimbangkan pilihan ini dengan hati-hati. Lewis
mendeduktif klaim Yesus – seakan-akan tidak benar. Dia mengatakan
seseorang yang mengklaim sebagai Allah tidak mungkin jadi guru agung
moralitas.
Bahkan mereka yang paling skeptis terhadap kekristenan sangat jarang
mempertanyakan kesadaran Yesus. Reformis sosial William Channing
(1780–1842), mengaku bukan orang Kristen, melakukan pengamatan terhadap
Yesus,”Tuduhan secara berlebihan, secara antusias membohongi-diri adalah
yang paling akhir bisa dikatakan tentang Yesus.” Dimana kita bisa
temukan jejak itu dalam sejarah? Apakah kita bisa mendeteksinya dalam
pemikiran-Nya? persepsi-Nya?
Meski kehidupannya dipenuhi oleh imoralitas dan skeptisme personal,
filsuf terkemuka Perancis, Jean-Jacques Rousseau (1712 -78) mengakui
superioritas karakter dan pemikiran Yesus. “Ketika Plato menggambarkan
manusia kebenaran manussia, imajinasinya, dipenuhi oleh hukuman akan
kesalahan, tetapi tetap berhak atas ganjaran keutamaan (kebijaksanaan)
tertinggi. Dia dengan tepat menggambarkan karakter Kristus. … Pemikiran
yang luar biasa. … Ya, jika kehidupan dan kematian Socrates adalah
filsuf, kehidupan dan kematian Yesus Kristus adalah Allah.”
Schaff melontarkan pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri,
” Apa ada kepintaran pada tingkat itu — sepenuhnya sehat dan bersemangat, selalu siap dan selalu percaya diri — menyerahkan diri secara radikal dan sangat serius kepada khayalan berkaitan dengan karakter dan misinya sendiri?”
Jadi, apakah Yesus seorang pembohong, gila, atau Dia adalah Anak
Allah? Dapatkah Jefferson benar ketika menjuluki Yesus “hanya guru moral
yang bagus” dan pada saat yang sama menolak ke-Tuhan-anNya? Menariknya,
para pendengar Yesus — mereka yang percaya dan musuh-musuhNya — tidak
pernah memandang Dia hanya sebagai guru moral. Yesus menghasilkan tiga
dampak utama bagi orang yang bertemu denganNya: kebencian, ketakutan,
atau penyembahan (pemujaan).
Dan sekarang, dua ribu tahun kemudian, Yesus masih tetap pribadi yang
membelah dunia kita. Bukan moral, etika, atau warisanNya yang membakar
gairah. Pesan yang dibawa Yesus kepada dunia adalah Allah menciptakan
kita dengan tujuan dan tujuan itu ada pada Anak-Nya.
Klaim Yesus
Kristus memaksa kita untuk memilih. Seperti dikatakan Lewis, kita tidak
bisa mengkategorikan Yesus hanya sebagai pemimpin besar agama atau guru
moral yang baik. Mantan pengajar Oxford dan skeptis menantang kita
mengambil keputusan sendiri mengenai Yesus,
“Anda harus mengambil keputusan sendiri. Apa orang ini adalah Anak Allah atau orang gila atau yang lebih buruk lagi. Anda bisa menyebut-Nya bodoh, anda meludahi-Nya dan membunuh-Nya sebagai setan atau Anda bisa jatuh didepan kaki-Nya dan memanggil-Nya Tuhan dan Allah. Tetapi kita tidak bisa menyatakan hal yang tidak masuk akal dengan menyebutnya sebagai guru yang agung dan manusia. Dia tidak menyediakan (pandangan itu) terbuka untuk kita. Dia tidak menghendakinya.”
Dalam tulisan “Kekristenan Biasa”, Lewis menjelaskan kenapa dia
menyimpulkan Yesus Kristus persis sama dengan klaimNya. Dia secara
hati-hati meneliti kehidupan dan perkataan Yesus. Hal ini membawa
penulis jenius ini membuang ateismenya dan jadi orang Kristen yang
sungguh-sungguh.
Apakah Yesus Benar-Benar Bangkit Dari Kematian?
Pertanyaan terbesar masa kini adalah, “Siapa sebenarnya Yesus
Kristus? Apakah dia hanya seorang luar biasa, atau dia Allah dalam
daging, seperti dipercayai oleh para muridNya Paulus, Johannes, dan yang
lainnya?
Para saksi mata, bagi Yesus Kristus, berbicara dan bertindak
sepertinya mereka percaya Dia bangkit secara fisik dari kematian setelah
penyalibannya. Jika mereka salah maka KeKristenan didirikan diatas
kebohongan. Tapi jika mereka benar, mujizat seperti itu secara
memperkuat semua yang Yesus katakan mengenai Allah, diri-Nya, dan kita.
Tapi apakah kita percaya pada kebangkitan Yesus hanya dengan iman
saja, tapi apakah ada bukti historis yang kuat? Beberapa ahli skeptis
mulai meneliti catatan historis untuk membuktikan bahwa catatan
kebangkitan itu salah. Apa yang mereka temukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar